Thursday, February 25, 2010

28 Tahun ASISI "Memanusiakan" 8.170 orang

Dengan mengucap syukur ke hadirat Yang Maha Kuasa, Drs. Anselmus Robertus Mecer (AR Mecer), pendiri dan Ketua Yayasan Karya Sosial Pancur Kasih, memotong kue ulang tahun pada puncak perayaan Pesta Perak SMA St.Fransiskus Asisi dan Reuni Perdana SMP-SMA Asisi (4/10).

Selama seminggu, SMA/SMA Santo Fransiskus Asisi yang bernaung di bawah Yayasan Karya Sosial Pancur Kasih diliburkan untuk memberikan kesempatan kepada seluruh siswa, karyawan dan alumni berkumpul bersama merayakan seluruh pencapaian SMP yang sudah berumur 28 tahun dan SMA berusia 25 tahun pada tahun 2009. Sejak didirikan tahun 1981, SMP Santo Fransiskus Asisi telah "memanusiakan" 4.636 siswa (tamat 3.500 orang) dan 3.634 siswa SMA Santo Fransiskus Asisi (tamat 2.441). Pencapaian ini pantas disyukuri karena Persekolahan Asisi merupakan satu-satunya persekolahan yang dikelola awam Katolik dan Dayak yang mampu bertahan, berkembang dan bermutu di Kota Pontianak.

Untuk memeriahkan pesta tersebut, diadakan pertandingan basket (putra-putri) dan volley (putra-putri) antara SMA swasta dan negeri di kota Pontianak. Selain olah raga, diadakan seminar, pameran, misa syukur, reuni, malam amal, hiburan dan pentas seni serta malam puncak acara pesta perak dan pembagian hadiah. "Kegiatannya merupakan gabungan antara jasmani dan rohani. Yang rohani berupa misa dan seminar. Sedangkan yang jasmani berupa aneka perlombaan, kesenian dan pameran,"jelas Drs. Hermanus Abeh, Ketua Panitia.

Seminar bertemakan "Asisi selayang pandang; Asisi di mata Alumni dan Refleksi 25 tahun SMA Santo Fransiskus Asisi" dengan narasumber Pastor Robini OP (alumni) dan mantan kepala sekolah, yakni Stevanus Buan, Alfonsus, Maran MA, Oktavianus Kamusi.

Asisi, Sumbangan Intelektual Dayak untuk Pendidikan

Lahirnya Persekolahan Asisi dimulai dari keprihatinan sejumlah pemuda Dayak yang menjadi guru di sekolah-sekolah misi di Pontianak tentang ketidakberdayaan, ketertinggalan masyarakat Dayak dari kelompok lainnya di Kalbar. Dari serangkaian diskusi dan refleksi , akhirnya mereka berrkeyakinan bahwa sesungguhnya manusia Dayak adalah citra Allah, ciptaanNya yang paling sempurna dan memiliki potensi yang setara dengan manusia lainnya. "Saya waktu itu yakin bahwa orang Dayak lah yang harus menolong dirinya sendiri. Masyarakat Dayak harus bangun dan berjuang menuju masa depan yang lebih baik. Perjuangan pembebasan itu haruslah disandarkan kepada potensi yang orang Dayak miliki, yaitu semangat kolektivitas, keswadayaan dan kebudayaan yang kuat,"jelas AR. Mecer, pendiri Yayasan Pancur Kasih, tempat bernaungnya Persekolahan Asisi.

Tokoh-tokoh yang ikut pada diskusi awal pembentukan yayasan mewakili beberapa daerah. Mereka adalah A.R.Mecer (Menyumbung, Ketapang), Br. Dwin (Sanggau), Br. Yohanes, MTB (Lintang, Sanggau), Firmus Kaderi (Sejiram, Putussibau), Pasifikus Ahok (Sanggau), Herkulanus Yahya (Sejiram), Iman Khalis (Putussibau), Silvester Lawik (Putussibau), Maran Marcellinus Aseng (Kab. Pontianak), Marcus Alin (Lintang, Sanggau), Mgr. Hieronimus Bumbun, OFM. Cap (Belitang, Sanggau), Aloysius Milon Somak (Serengkah, Kab. Ketapang), Elmoswath (Pal 20, Landak), Pastor Heliodorus, OFM. Cap (Nyarumkop, Kab. Sambas), V. Sa’Anan (Pal 20, Landak), Agustinus Syaikun Riady (asal Ketapang), Thomas Lay (Sumsupm, Sebadu), J.C. Thambun Anyang (asal kab. Kapuas Hulu).

Selanjutnya, Yayasan Karya Sosial Pancur Kasih (YKSPK) yang semula digagas dengan nama Yayasan Pancur Kasih itu resmi didirikan, dengan 7 orang pengurus, yaitu A.R.Mecer (Ketua), Thomas Lay (Waka I), Agustinus Syaikun Riady (Waka II), Firmus Kaderi (Sekretaris I), Maran Marcellinus Aseng (Sekretaris II), P. Heliodorus, OFM. Cap (Bendahara I), Milon Somak (Bendahara II).

YKSPK bertujuan mewujudkan kemandirian dan menjawab segala persoalan yang dihadapi masyarakat maginal dan tertindas. Cita-cita besar tersebut ditegaskan melalui rumusan misi YKSPK "masyarakat "Dayak" mampu menentukan dan mengelola kehidupan politik, ekonomi, budaya dan sosial mereka secara mandiri dengan kompak dalam kerangka pengakuan, penghargaan dan perlindungan yang dijamin oleh Pancasila dan UUD 1945". Kata "Dayak" adalah simbol masyarakat yang termaginalkan dan tertindas

Pancur Kasih-Asisi
Kata ‘kasih’ berasal dari ajaran ‘cinta kasih’ yang menjadi ajaran dasar Kristiani, agama yang dianut sebagain besar masyarakat Dayak dan para pendirinya. Kata ‘Pancur’ diangkat dari kata pancuran. Pancuran adalah penghubung rembesan air yang dikumpulkan dan menjadi banyak. Gejala alam yang demikian itu dijadikan landasan filosofi gerakan ini. "Pancur Kasih merupakan gambaran dari keinginan untuk menampung dan menyatukan potensi-potensi masyarakat Dayak dan masyarakat yang termaginalkan dan tertindas lainnya, seberapapun kecilnya, berbagai nilai kebajikan itu dapat dikumpulkan satu sama lainnya, hingga menjadi aliran yang besar adanya, yang mampu memberikan manfaat dan kebaikan bagi banyak orang,"jelas Mecer yang pernah menjadi anggota DPRD Kalbar dan MPR-RI.

Untuk menolong kaum marjinal ini, maka yang utama harus dilakukan adalah membuat mereka pintar. Karrena itu pendidikan formal menjadi pilihan. Maka tahun 1981 didirikan SMP Santo Fransiskus Asisi. Karena belum ada gedung, belajar siang hari meminjam gedung SD Kanisius milik Yayasan Bruder MTB selama empat tahun. Angkatan pertama (1981-1982) menerima 167 murid.

Nama sekolah ini semula adalah SMP Pancur Kasih. Namun ketika mengurus ke pemerintah, diminta mengganti namanya. Yang terlintas di benak AR.Mecer Firmus Kaderi di hadapan pejabat itu adalah tokoh perintis penyebaran ajaran Katholik yang pertama di Indonesia yaitu Santo Fransiskus Xaverius. Tapi salah ucap menjadi Fransiskus Asisi. Maka jadilahnya namanya SMP St.Fransiskus Asisi. Santo Fransiskus Asisi adalah tokoh lingkungan hidup. Lambang matahari dan burung merpati yang melukiskan semangat kecintaan Santo Fransiskus Asisi terhadap lingkungan alam.

Sejak adanya SMP Asisi (dan SMA), kompleks persekolahan ini menjadi pusat aktivitas masyarakat Dayak, Tionghoa dan lainnya, khususnya dari kalangan kurang mampu. Ada asrama untuk menampung siswa dari pedalaman. Aktivitasnya terus berkembang, tidak hanya mengurusi pendidikan, tapi juga sosial, ekonomi, politik. “Misalnya, pernah papan lantai sekolah ini satu lokal habis membuat peti mati orang dari pedalaman yang meninggal di Pontianak,"kenang Maran Marcel, seorang pendiri YKSPK.

Tahun 1984 YKSPK mendirikan SMA Santo Fransiskus Asisi untuk menampung lulusan SMP Asisi. Selain dua sekolah ini, YKSPK juga menaungi dan memperjuangkan izin untuk sejumlah skeolah lainmenaungi sekolah lain di daerah. Ada 9 sekolah, yakni SMP St.Fransiskus Asisi Pontianak; SMA St. Fransiskus Asisi Pontianak; SMP Pancur Kasih di Saham, Pahauman; SMP Pancur Kasih di Pawis, Ngabang, Landak; SMP Pancur Kasih di Nangka, Menjalin; SMA St. Fransiskus Asisi di Bengkayang; SMP St.Fransiksus Asisi di Sungai Pinyuh; SMA Talino di Desa Korek, Sungai Ambawang dan SMP Pancur Kasih di Nyari’, Serimbu, Landak. Kini tinggalah SMP dan SMA Asisi di Siantan, Pontianak.

Langkah menuju kemandirian di bidang pendidikan menuntut jaminan ekonomi sebagai landasan yang penting untuk membuka peluang-peluang ekonomi dan sekaligus prinsip menabung bagi masyarakat. Karena itu, tahun 1987, YKSPK yang dipimpin oleh AR.Mecer mendirikan Credit Union Pancur Kasih (CUPK). Kini CUPK berkembang pesat dan menjadi CU terbesar di Indonesia sehingga menjadi tempat belajar orang dari seluruh dunia. Sampai 30 Juli 2009 CUPK memiliki 76.225 anggota dan aset Rp.675.052.969.454. Melalui gerakan ekonomi kerakyatan ini, Pancur Kasih ingin mengembalikan nilai-nilai kebersamaan (solidaritas), kemandirian, dan nilai keswadayaan yang pernah menjadi bagian utama dalam kehidupan sosial budaya orang Dayak pada khususnya, dan kelompok-kelompok masyarakat “terbuang” lainnya di mana pun berada.

Setelah CUPK, dari YKSPK lahir lembaga/unit lain, yakni Institut Dayakologi/Majalah KR, LBBT, BPR Panbank, KPD, Percetakan Mitra Kasih, PPSDAK, PPSHK, EAP, Dana Solidaritas, Solkes, Pentis/Beasiswa, PEK, AMA Kalbar, POR, Radio Rama dan Ruai TV.

Tantangan
Sejak 1981-2009 jumlah siswa SMP Asisi adalah 4.636 orang dan yang sudah tamat/alumni 3.500 orang. Sudah tujuh kepala sekolah (1881-1984 Drs Firmus Kaderi; 1985 Drs Albert Rupinus MA; 1985-1986 Drs.AR Mecer; 1986-1986-1993 Oktavianus Kamusi,SH; 1993-2005 Alfonsus,BA; 2005-2009 Adrianus, S.Si. Total guru dan karyawan SMPAsisi 132 orang.

SMA Asisi sejak dibuka tahun 1984 hingga 2009 sudah mendidik 3.634 siswa dan tamat/alumni 2.441 orang. Sudah 5 orang kepala sekolah, yakni tahun 1984-1988 Drs.Stevanus Buan, 1988-1991 Drs. Maran MA; 1991-1994 Oktavianus Kamusi,S.H.; 1994-2001 Drs.Hermanus Abeh dan 2001-2009 Drs.Y. Priyono Pasti.

"Maju terus Asisi. Soal mutu dan kualitas tamatan Asisi ini tak kalah dibandingan dengan sekolah favorit yang ada di Pontianak dan Kalbar ini. Ini terbukti sudah banyak para alumni Asisi menduduki berbagai posisi penting dalam berbagai dunia kerja dan kehidupan di masyarakat,"ujar Maria Lili, alumni SMA Asisi yang kini menjadi anggota DPRD Ketapang.

Dalam usianya ke-28 (SMP) dan 25 tahun (SMA), sejumlah tantangan dihadapi persekolahan ini. Menurut Oktavianus Kamusi, SH., guru SMP Asisi, salah satu yang agak menonjol adalah fisik sekolah yang kini cukup memprihatinkan. "Sejak berdirinya hingga saat ini keadaan gedung dan jumlah ruangnya masih seperti yang lalu, jika pun ada penambahan hanya beberapa sarana prasarana untuk memenuhi tuntutan dunia pendidikan agar tamatan Asisi mampu menyesuaikan diri dengan percepatan perubahan Iptek, dan perkembangan globalisasi,"papar Kamusi dalam seminar HUT Asisi. Padahal menurut Priyono Pasti, Kepala SMA Asisi, minat untuk belajar di persekolahan Asisi cukup tinggi bahkan tak tertampung karena ruang belajar yang terbatas.

Selain gedung menurut Kamusi yang perlu mendapat perhatian serius adalah sarana prasarana belum maksimal, tenaga pengajar yang memprihatinkan dari segi finansial, persaingan sekolah, kebijakan pemerintah yang tidak berpihak pada sekolah swasta, krisis ekonomi, carut marutnya sistem pendidikan nasional, krisis moral generasi pelajar akibat kemajuan teknologi informasi.

Pastor Robini OP, narasumber seminar, menyoroti kondisi para pendidik di Asisi juga patut mendapat perhatian agar mereka lebih maksimal berkarya serta gedung. "Masak sudah puluhan tahun kerja tapi motornya masih butut? Kasihan kan gurunya. Kalau mau bersaing dengan sekolah swasta, Asisi harus punya gedung yang representatif,"ujar alumni SMP Asisi tahun 1985 ini. Pastor Robini mengharapkan agar Persekolahan Asisi menghasilkan lulusan yang mempunyai karakter, membentuk orang berjiwa wirausaha. Sekolah harus menjadi pusat pembelajaran.

Pastor Robin mengingatkan orang tua murid bahwa tanggung jawab utama pendidikan adalah siswa; bukan guru. "Untuk mendapatkan lulusan yang berkualitas, tanggung jawab orang tua sangat penting,"paparnya.

Tantangan terbesar insan Asisi adalah menyeimbangkan antara pendidikan intelektual dan emosional. "Kami dulu suasana belajarnya enak, penuh kekeluargaan, guru dan murid dekat. Dengan penuh ketiadaan tapi siswa dan guru kreatif. Semoga sekarang pun suasananya masih demikian,"harap Pastor Robini, harapan masyarakat semua tentunya.

Bravo Asisi, Selamat Ulang Tahun. Maju terus, perjuangan tanpa henti untuk terus menambah daftar orang-orang yang berhasil dicerdaskan.n


Edi v.Petebang, dari berbagai sumber.

Wednesday, February 24, 2010

Mengembangkan Jiwa Wirausaha Sejak Dini

Tanggungjawab, kreativitas dan mampu mengambil keputusan adalah sifat yang akan muncul pada anak jika jiwa wirausaha ditumbuhkan sejak dini. Sifat tersebut merupakan modal bagi keberhasilan hidup anak saat ia dewasa.

Ramalan beberapa ahli tentang gambaran masa depan dunia yang menuntut munculnya jiwa wirausaha pada tiap individu tak dapat disangkal lagi.
Persaingan global antar bangsa yang tak mengenal batas antar negara menuntut setiap orang untuk kreatif memunculkan ide-ide baru. Maka mempersiapkan anak agar mempunyai jiwa wirausaha, agaknya jadi satu hal yang penting dilakukan oleh orangtua dan lingkungannya.

Peran orangtua dan guru
Wirausaha merupakan suatu usaha yang dilakukan dengan penuh tanggung jawab dan membutuhkan banyak kreativitas. Rasa tanggung jawab dan kreativitas dapat ditumbuhkan sedini mungkin sejak anak mulai berinteraksi dengan orang dewasa. Orangtua adalah pihak yang bertanggung jawab penuh dalam proses ini. Anak harus diajarkan untuk memotivasi diri untuk bekerja keras, diberi kesempatan untuk bertanggung jawab atas apa yang dia lakukan.

Selain itu, peran lingkungan, semisal guru-guru, juga berpengaruh terhadap pembentukan pribadi anak. Mereka bisa berperan dalam membuat anak agar bisa menjadi seorang enterpreneur. Untuk itu, guru harus kreatif mengajar dan membuat soal. “Berikan kesempatan untuk berpikir alternatif.

Misalnya, jangan bertanya 5X5 berapa. Tapi, tanyalah berapa kali berapa saja sama dengan 25,” kata Zainun Mu’tadin, S.Psi, M.Psi, Dosen Psikologi UPI YAI. Dengan kreativitas orangtua dan guru, anak dilatih memiliki beberapa alternatif jawaban dan solusi. Alternatif tersebut akan melatih anak mampu mengambil keputusan yang tepat dari berbagai pilihan yang ada.

Jiwa wirausaha juga memerlukan motivasi yang bagus, intelegensi yang cukup baik, kreatif, inovatif, dan selalu mencari sesuatu hal yang baru untuk bisa dikembangkan. Sayangnya, menurut Zainun, hal-hal tersebut di sekolah kurang mendapat perhatian. Kebanyakan sekolah masih terfokus pada pengembangan kecerdasan intelegensi saja.

Sementara kreativitas masih kurang dikembangkan.
Padahal pengembangan kreativitas akan membuat anak mampu menciptakan hal-hal baru. Kreativitas inilah modal dasar untuk menjadi enterpreuner. Modal penting lainnya adalah sikap bertanggungjawab. Sisi positif lain dari pengembangan sikap ini adalah terbangunnya rasa tanggung jawab pada semua hal yang dilakukan. Menurut Zainun, bila banyak orang di Indonesia memiliki jiwa enterpreunership, maka jumlah koruptor juga akan sedikit. “Bila kelak anak tersebut dewasa dan mengambil kredit di bank, ia akan bertanggungjawab mengembalikan dan tidak akan kabur,” kata psikolog yang menamatkan studinya di UI ini.

Latihan bertahap
Menumbuhan sifat wirausaha pada diri anak memerlukan latihan bertahap. Latihan wirausaha ini bukanlah sesuatu yang rumit. Bentuknya bisa sederhana dan merupakan bagian dari keseharian anak. Misalnya, toilet training untuk melatih anak yang masih ngompol. Tujuan akhirnya sampai anak mampu membuang kotoran di tempatnya, membersihkan kotorannya, dan memakai kembali celananya. Latihan itu dilakukan secara bertahap dan mengajarkan anak untuk bertanggungjawab.

Latihan lain, misalnya melatih anak untuk dapat membereskan mainan selesai bermain dan meletakkan mainan di tempatnya. Hal ini juga merupakan latihan untuk bertanggungjawab dan awal pengajaran tentang kepemilikan. Ini mainan saya diletakkan di sini. Ini mainan kakak, kalau mau pinjam, harus ijin dulu. Sifat tersebut, menurut Zainun, adalah awal untuk menumbuhkan jiwa wirausaha pada anak.

Latihan selanjutnya adalah mengajarkan anak untuk mampu mengelola uang dengan baik. Terangkan pada anak, dari mana uang yang dipakai untuk membiayai rumah tangga. Jelaskan bahwa untuk mendapatkan uang tersebut, orangtua harus bekerja keras.
Uang hanya boleh dipakai untuk kebutuhan yang benar-benar perlu. Dengan demikian anak akan menjauhi sikap konsumtif.

Dalam mengajarkan anak mengelola uang, latihan yang perlu diajarkan bukan hanya cara membelanjakan, namun juga menabung, sedekah dan mencari uang. Tentu saja cara ini memerlukan konsistensi orangtua terhadap aturan. Misalnya, saat mengajak anak berbelanja. Catat terlebih dahulu kebutuhan yang akan dibeli. Orangtua harus konsisten untuk tidak belanja di luar catatan belanja. Bila anak mengamuk meminta mainan atau barang kebutuhan lain di luar catatan, maka orangtua harus konsisten untuk membelikannya. Aturan itu harus sudah disepakati sejak awal.

Latihan seperti ini sudah dapat dilakukan sejak anak berusia dua tahun. “Jangan anggap anak tidak mengerti apa-apa dengan mengatakan ‘Ah, masih anak kecil’. Padahal sejak kecil pun anak sudah mampu berkomunikasi,” tutur ayah satu orang putra ini.

Bisnis kecil-kecilan
Setelah anak diajarkan mengelola uang, tahap selanjutnya si anak mulai dapat diajarkan berbisnis kecil-kecilan. Biasanya bisa dilakukan pada usia sekolah. Pada usia ini, anak biasanya sudah dapat diajarkan jual beli. Pada tahap ini anak diajarkan untuk mengenal usaha untuk mendapatkan sesuatu, dengan kata lain bisnis kecil-kecilan.

Misalnya, anak bisa diajarkan menjual barang hasil karyanya, saperti es mambo, kue, dan lain-lain. “Ini tidak disarankan untuk dilatihkan, tapi sebenarnya bisa,” ujar Zainun. Syaratnya, tahapan ini bisa dijalankan bila orangtua sudah mengajarkan cara mengelola uang terlebih dahulu. Sehingga anak sudah terbiasa untuk menabung dan mengatur uangnya dengan baik. Dengan demikian uang yang mereka dapat tak segera dihabiskan untuk hal-hal yang tak perlu.

Cara yang dipakai oleh David Owen, seorang penulis buku di Amerika Serikat, agaknya layak ditiru. Owen mengisahkan tentang bagaimana ia mampu mendorong anak-anaknya menjadi gemar menabung dan penuh perhitungan dalam membelanjakan uang. Ia membuat “Bank Ayah”, khusus untuk anak-anaknya. Prinsip yang dikembangkan dalam "Bank Ayah" adalah pemberian tanggungjawab dan kontrol keuangan secara penuh pada anak sebagai pengelola uang mereka sendiri. Uang anak adalah milik anak, bukan milik orang tua. Bahkan anak juga bebas mencari pendapatan di luar jatah uang saku yang telah mereka dapatkan.

Dalam hal ini "Bank Ayah" berperan dalam melakukan kontrol secara tidak langsung, yaitu dengan mengembangkan prinsip-prinsip perbankan seperti bonus yang dapat menarik minat akan untuk menambah saldo tabungan, juga saldo minimal, yang dapat membatasi jumlah pengambilan uang agar tidak terkuras habis. Dengan ini anak akan benar-benar bertanggungjawab dan berhati-hati dalam membelanjakan uangnya.

"Bank Ayah" ala David Owen ini tidak cuma menjadi daya tarik anak untuk menabung. Lebih dari itu "Bank Ayah" dikelola sebagai sarana pembelajaran dari praktik ekonomi kepada anak dengan bahasa yang sederhana. Dengan sedikit improvisasi, Owen mengubah "Bank Ayah" ini menjadi media latihan berinvestasi pada anak-anaknya. Owen sendiri berhasil mendirikan sebuah perusahaan pialang saham yang bernama "Dad and Co”.

Jadi sejak dini jiwa wirausaha baik untuk ditanamkan. Inti dari kewirausahaan adalah bagaimana menanamkan cara untuk berusaha, memecahkan permasalahan dan bertanggung jawab penuh atas apa yang dia lakukan.
Sangat positif, bukan?


Sarah Handayani. Sumber: Majalah Ommi Online, Selasa, 18 Januari 05

Memotivasi Anak Didik: 8 Langkah Sederhana Bagi Guru

Dasar-dasar dalam Akuntansi cenderung memiliki reputasi sebagai suatu pelajaran yang “sulit dan membosankan”. Susah untuk memotivasi murid untuk menyempatkan diri dan melakukan apa pun yang dirasa perlu untuk berhasil memperoleh nilai yang baik dalam pelajaran tersebut. Demi menjawab tantangan ini, kami telah menyusun sebuah daftar yang berisi delapan langkah sederhana untuk membantu siswa tetap fokus dan termotivasi. Langkah-langkah ini bukanlah yang pertama dan mereka tidak hanya ditujukan bagi kita yang mengajar pelajaran akuntansi saja. Tentunya, saran-saran yang dikemukakan disini dapat pula diterapkan kepada siswa dalam yang menemukan kesulitan dan merasa bosan dalam mata pelajaran lainnya, sehingga bagi kami hal ini dapat diterapkan secara luas.


Langkah 1:

Tekankan tentang konsep-konsep yang bersifat sangat penting secara berkala. Tanyakan konsep-konsep ini dalam kelas dan tugas selama pelajaran itu berlangsung. Masukkan pertanyaan yang berhubungan dengan konsep penting tersebut dalam setiap ujian, yang berarti memberikan siswa kesempatan untuk belajar, mengingat/menghafal dan semoga dapat menerapkan pengetahuan tersebut dalam beragam konteks.


Langkah 2:

Sediakan bagi siswa “alat bantu visual”, bila mungkin, saat menerangkan suatu konsep yang abstrak, karena saat ini sebagian besar jumlah murid adalah bersifat pelajar visual. Bagi mereka, suatu diagram atau bagan sederhana secara nyata dapat lebih bernilai dibandingkan dengan seribu kata dalam sebuah bacaan atau buku pelajaran.


Langkah 3:

Andalkan penggunaan logika anda saat memungkinkan. Tekankan pada siswa informasi mana yang adalah “fakta” yang wajib dihafalkan dan isi mata pelajaran yangmana sajakah yang berdasarkan “logika”. Tunjukkan kepada mereka bagaimana menggunakan logika berpikir dalam belajar dan dalam memperoleh informasi baru. Contoh, didalam system pembukuan double-entry, “debit” sama dengan “kredit”, dan jumlah debit menyebabkan jumlah keuntungan meningkat. Hal ini adalah “fakta” atau bagian dari sistemnya; mereka bukanlah berdasarkan logika. Namun, ketika siswa dapat menerima sistem tersebut, maka logikanya dapat digunakan seiring dengan ia mengerjakan sistem itu. Melanjutkan contoh tadi, jika debit meningkatkan keuntungan, maka adalah logis bahwa kredit mengakibatkan kerugian.


Langkah 4:

Lakukan kegiatan dalam kelas untuk mengajarkan materi pelajaran yang baru saja diajarkan. Setelah sebuah konsep baru atau subjek pelajaran diajarkan dengan menggunakan teks bacaan, pengajaran/perkuliahan, atau diskusi kelas, biarkan siswa menerapkan konsep tersebut dalam sebuah tugas yang dikerjakan di kelas. Tugas-tugas ini dapat berupa singkat saja, namun haruslah dikembangkan untuk memastikan bahwa para siswa memahami konsep terpenting dari materi baru tersebut. Use in-class activities to reinforce newly presented material. Seyogyanya, proses pembelajaran paling sukses adalah ketika para siswa diizinkan bekerja dalam kelompok-kelompok kecil, menggunakan buku dan catatan mereka, dan bertanya pada guru sambil menyelesaikan tugas yang diberikan. Bila tugas sekolah ini adalah bagian dari skema komponen penilaian, maka kehadiran siswa di kelas pun dapat meningkat.


Langkah 5:

Bantu siswa menciptakan sebuah “hubungan” ketika mengajarkan materi pelajaran baru. Bila siswa dapat “menghubungkan” materi baru tersebut kepada sesuatu yang telah dipelajari sebelumnya, maka akan semakin besar kemungkinan mereka cepat mempelajarinya. Contoh “hubungan” yang mungkin diciptakan adalah: materi pelajaran yang telah dipelajari sebelumnya di pelajaran yang sama (mis., konsep penting yang dijelaskan dalam Langkah 1), materi-materi yang telah dipelajari di kelas-kelas sebelumnya dan pengalaman-pengalaman nyata yang dialami siswa di luar kelas.


Langkah 6:

Kenali betapa pentingnya perbendaharaan kata dalam suatu mata pelajaran. Para siswa mungkin memiliki kesulitan mempelajari kata-kata baru dalam banyak pelajaran, terutama pelajaran yang bersifat pengenalan. Untuk dapat berhasil dalam pelajaran seperti ini, siswa harus merasa nyaman dengan terminologi baru. Selagi mengajarkan subjek yang baru, kata-kata baru dan/atau sulit sebaiknya diperkenalkan dan dibahas dengan para siswa. Sajikan dengan menggunakan pengertian yang nyata dan terminologi alternatifnya, selain daripada pengertian yang ada di buku pelajaran mereka. Salah satu cara membentu mereka adalah dengan memahami kata-kata dalam pelajaran adalah dengan menciptakan kamus “hidup” dalam situs guru dimana selama tahun pelajaran tersebut segala perbendaharaan kata ditambahkan, dijelaskan dan diberikan contoh-contohnya.


Langkah 7:

Perlakukan siswa dengan hormat. Perilaku yang menggurui dapat ditemukan pada guru-guru sekolah dasar, dan strategi “laksanakan, sersan” bisa jadi efektif dilakukan terhadap siswa sekolah militer. Namun, kebanyakan murid sekolah/kuliah tidak akan merespon terhadap teknik-teknik pengajaran semacam ini. Berikan mereka harga diri dan mereka pun akan memberikan anda usaha terbaiknya.


Langkah 8:

Hargai mereka dengan melihat bahwa mereka telah berada dalam standar yang tinggi. Bila para siswa tidak diharapkan untuk dapat mempertahankan tingkatan tertentu dalam hal nilai dan performa mereka, maka hanya siswa yang bermotivasi tinggilah yang akan memberikan waktu dan segala usahanya untuk belajar. Sebaliknya, membuat suatu standar tertentu yang cenderung tinggi tidak hanya dapat memotivasi siswa untuk belajar, namun dapat pula menjadi sumber timbulnya rasa pencapaian bagi mereka ketika mereka bisa melakukannya.

Setiap langkah diatas dapat memotivasi para siswa bahkan bagi mereka yang paling malas sekalipun, tetapi Langkah 7 dan 9 adalah yang terpenting disini. Bila siswa tidak diperlakukan dengan hormat dan dihargai dengan standar yang tinggi, bagaimanapun telatennya anda melakukan 6 langkah yang lainnya tidak akan membawa perubahan yang berarti dan bahkan mungkin usaha anda akan sia-sia.


Oleh Lana Becker and Kent N. Schneider, East Tennessee State University becker@etsu.edu or kent@etsu.edu. Dicetak ulang dari The Teaching Professor by permission from Magna Publications, Inc., Madison, Wis.
Sumber; www.magnapubs.com.

Pentingnya Pendidikan Kecerdasan Emosional

Sejak kecil biasanya siswa diharapkan untuk mempunyai nilai yang bagus di sekolah. Setelah siswa lulus sekolah, mereka diharapkan untuk mendapatkan pekerjaan yang dapat pembantunya meraih “masa depan yang cerah” dan gaji yang tinggi. Banyak orang tua, bahkan para guru, berpikir bahwa nilai tinggi dan lulusan sekolah merupakan jaminan untuk mendapatkan pekerjaan dan kesuksesan dalam karier.

Kenyataan ini memang tidak dapat disangkal. Kemampuan dan nilai akademis yang tinggi dapat membuka banyak pintu bagi kesuksesan seseorang. Akan tetapi, kenyataannya, baik dalam dunia kerja, pribadi, maupun proses belajar mengajar, kemampuan kecerdasan emosional (emotional intelligence) sangat berperan untuk mencapai kesuksesan seseorang. Lapangan kerja yang semakin kompetitif dan spesialis, membuat tidak seorang individu atau institusi mana pun yang dapat mencapai tujuan mereka tanpa harus bekerja sama dalam tim karena setiap orang dipaksa untuk bekerja sama dengan orang lain.

George Lucas, chairman PBS Foundation, mencontohkan bahwa dalam pekerjaannya di bidang pembuatan film, mereka membutuhkan orang-orang yang berbakat dengan keterampilan teknis yang kuat, tetapi kemampuan untuk berkomunikasi dan bekerja sama dengan orang lain tidak kurang pentingnya. “Salah satu hal yang perlu dilakukan oleh sekolah dalam mempersiapkan anak didik ke dunia nyata ialah dengan mengajarkan mereka kemampuan kecerdasan emosional,” ujarnya menambahkan.

Lalu, apa itu kemampuan kecerdasan emosional? Kecerdasan emosional adalah kemampuan untuk mengenali, mengekspresikan, dan mengelola emosi, baik emosi dirinya sendiri maupun emosi orang lain, dengan tindakan konstruktif, yang mempromosikan kerja sama sebagai tim yang mengacu pada produktivitas dan bukan pada konflik.

Seseorang yang mempunyai kecerdasan emosional yang baik akan dapat dikenali melalui lima komponen dasar, yaitu sebagai berikut.

1. Self-awareness (pengenalan diri)
Mampu mengenali emosi dan penyebab dari pemicu emosi tersebut. Jadi, dia mampu mengevaluasi dirinya sendiri dan mendapatkan informasi untuk melakukan suatu tindakan.

2. Self-regulation (penguasaan diri)
Seseorang yang mempunyai pengenalan diri yang baik dapat lebih terkontrol dalam membuat tindakan agar lebih hati-hati. Dia juga akan berusaha untuk tidak impulsif. Akan tetapi, perlu diingat, hal ini bukan berarti bahwa orang tersebut menyembunyikan emosinya melainkan memilih untuk tidak diatur oleh emosinya.

3. Self-motivation (motivasi diri)
Ketika sesuatu berjalan tidak sesuai dengan rencana, seseorang yang mempunyai kecerdasan emosional tinggi tidak akan bertanya “Apa yang salah dengan saya atau kita?”. Sebaliknya ia bertanya “Apa yang dapat kita lakukan agar kita dapat memperbaiki masalah ini?”.

4. Empathy (empati)
Kemampuan untuk mengenali perasaan orang lain dan merasakan apa yang orang lain rasakan jika dirinya sendiri yang berada pada posisi tersebut.

5. Effective Relationship (hubungan yang efektif)
Dengan adanya empat kemampuan tersebut, seseorang dapat berkomunikasi dengan orang lain secara efektif. Kemampuan untuk memecahkan masalah bersama-sama lebih ditekankan dan bukan pada konfrontasi yang tidak penting yang sebenarnya dapat dihindari. Orang yang mempunyai kemampuan intelegensia emosional yang tinggi mempunyai tujuan yang konstruktif dalam pikirannya.

Seseorang yang tidak mempunyai kecerdasan emosional yang tinggi dapat ditandai dengan hal-hal berikut: mempunyai emosi yang tinggi, cepat bertindak berdasarkan emosinya, dan tidak sensitif dengan perasaan orang lain. Orang yang tidak mempunyai kecerdasan emosional tinggi, biasanya mempunyai kecenderungan untuk menyakiti dan memusuhi orang lain.

Dalam dunia kerja, orang-orang yang mempunyai kecerdasan emosional yang tinggi sangat diperlukan, terlebih dalam tim untuk mencapai tujuan tertentu. Karenanya, orang tua dan para guru harus memupuk kecerdasan emosional sejak dini. (Dameria)

Sumber: Education for the Heart, As Well as the Mind dan Emotional Intelligence, An Important Concern for Parent and Teachers of Every Student). Posted in GE MOZAIK Juni 2005